Saya baru saja
selesai membuat sebuah lukisan yang bertema “stop children and women abuse”.
Saya mempersiapkan lukisan ini sekitar satu bulan dengan bahan serbuk konte di
atas kertas berukuran 40x60 cm. Menurut saya, tema ini sangat menarik untuk
kita bahas bersama. Selama ini telah terdapat ribuan kasus tindak kekerasan
terhadap perempuan dan anak-anak di dunia dan yang menjadi korbannya ialah
anak-anak dan perempuan karena mereka makhluk yang rentan terhadap kekerasan
yang dilakukan oleh manusia yang tidak mempunyai rasa prikemanusian seperti
yang terjadi pada zaman jahiliyah kelam. Hal ini sangat menyedihkan dan kita
wajib menyikapinya dengan seksama bagaimana mencari solusi untuk pemecahan
masalah ini. Dimana seorang anak merupakan generasi penerus bangsa, mereka yang
akan menggantikan posisi kita kelak dan begitu juga perempuan. Perempuan
merupakan tiang suatu negara, negara akan maju jika perempuannya maju dan akan
hancur bila perempuannya hancur.
Ada berbagai
macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang terjadi di
Indonesia, di antaranya: (1) perkosaan, (2) intimidasi seksual, (3) pelecehan,
(4) pemaksaan kehamilan, (5) pemaksaan perkawinan, (5) pemaksaan penggunaan
kontrasepsi, (6) pemaksaan aborsi, (7) tindakan-tindakan diskriminatif berbasis
gender. Pada kelompok muda, kekerasan dapat terjadi dalam relasi berpacaran,
praktik perdagangan anak perempuan, sampai dengan bentuk-bentuk tradisi yang
membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.
Akibat dari
tindak kekerasan tersebut ialah akan berdampak pada kurangnya rasa percaya
diri, menghambat kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
sosial, mengganggu kesehatannya, mengurangi otonomi, baik di bidang ekonomi,
politik, sosial budaya serta fisik. kekerasan terhadap perempuan mencakup
setiap perbuatan kekerasan atas dasar perbedaan kelamin, yang mengakibatkan
atau dapat mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap perempuan baik
fisik, seksual maupun psikhis, termasuk ancaman perbuatan tersebut, paksaan dan
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam
kehidupan yang bersifat publik maupun privat”.
Demikian juga
dengan kekerasan terhadap anak, meliputi penganiayaan, pembunuhan, pelecehan
seksual, perbudakan, perdagangan anak, anak-anak menjadi pekerja dan anak-anak
terlantar yang kini jumlahnya sekitar kurang lebih 100 hingga 150 juta anak
jalanan diseluruh dunia. Hal ini akan menyebabkan kurangnya kepercayaan pada
diri sendiri dalam pertumbuhan jiwanya akan terganggu dan dapat menghambat
proses perkembangan jiwa dan masa depannya (stress and trauma). Padahal Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak memberikan kewajiban bagi semua pihak termasuk negara
untuk melindunginya. Namun apa yang terjadi, meski sudah banyak undang-undang tentang
perlindungan anak dan perempuan khususnya di indonesia yaitu UU No 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No 23 Tahun 2004 tentang
Pengapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan UU No. 35 Tahun 2014
tentang Perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Perppu
nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Meski sudah ada empat undang-undang, namun kekerasan
terhadap anak dan perempuan di Indonesia bukannya berkurang, justru sebaliknya,
setiap tahun tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan mengalami peningkatan
yang signifikan.
Kasus
kekerasan terhadap anak dan perempunan juga sangan rentan di daerah perperangan
(war zone). yang menempatkan anak-anak dalam resiko yang sangat gawat (grave
risk), terutama jika timbul kemelaratan, penggunaan obat bius dan senjata serta
kejahatan sebagai kenyataan hidup sehari-hari.
Peningkatan
kekerasan terhadap perempuan dan anak setiap tahunnya merupakan fenomena gunung
es, kebanyakan korban awalnya takut melapor karena berbagai alasan, namun
setelah Pemerintah, Polri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak memfasilitasi pelayanan pengaduan, korban pun mulai berani
melapor atas tindak kekerasan yang dialaminya. Tak hanya itu, meningkatnya
kasus kekerasan ikut dibarengi dengan kesadaran korban yang sudah berani
melapor kepada layanan pengaduan yang saat ini sudah difasilitasi oleh
pemerintah.
Pemerintah,
lembaga pendidikan, dan keluarga memberikan peran penting mereka untuk terlibat
dalam penegakan ini. Tetapi ini tidak cukup. Peran aktif dari kita sebagai
masyarakat dalam upaya mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak
perempuan amatlah penting.
Bila melihat
undang-undang yang ada, tentunya masyarakat (pelaku) berpikir dua kali
melakukan tindak kejahatan, dalam Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur
anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan.Mengenai perampasan kemerdekaan,
merupakan hal yang dilematik, karena terdapat permasalahan apakah kita harus
menghukum anak yang menjadi pelaku atau ada cara lain.
Karena pada prinsipnya si anak
belum memahami secara jelas apa yang sudah dia lakukan, sedangkan UU No. 35
Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sudah cukup memadai untuk menjerat para pelaku kejahatan terhadap anak.
Kekerasan
terhadap anak dan perempuan perlu dihentikan dan dicegah dengan segera. Negara
belum mampu melakukan upaya pencegahan yang komprehensif, selain penindakan.
Itu pun dilakukan setelah ada kejadian yang meresahkan masyarakat. Negara dan
aparat hukumnya tak ubahnya ”pemadam kebakaran”, nanti ada kejadian barulah
bergerak dan menggalang opini bahwa kekerasan seksual bagi perempuan dan anak
merupakan musuh bersama.
Tampaknya
tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah interdispliner,
baik politis, sosial, budaya, ekonomis maupun aspek lainnya. Diakui bahwa
tindak kekerasan akan banyak terjadi, di mana ada kesengjangan ekonomis antara
laki-laki dan perempuan, penyelesaian konflik dengan kekerasan, dominasi
laki-laki dan ekonomi keluarga serta pengambilan keputusan yang berbasis pada
laki-laki. Sebaliknya, jika perempuan memiliki kekuasaan diluar rumah, maka
intervensi masyarakat secara aktif disamping perlindungan dan kontrol sosial
yang kuat memungkinan perempuan dan anak menjadi korban kekerasan semakin kecil.
Dari berbagai
pengalaman selama ini, maka solusi penanggulangan tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak mencakup hal-hal sebagai berikut :
• Meningkatkan kesadaran perempuan
akan hak dan kewajibannya di dalam hukum melalui latihan dan penyuluhan (legal
training).
• Meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya usaha untuk
mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan ana, baik di dalam
konteks individual, sosial maupun institusional;
• Meningkatkan kesadaran
penegak hukum agar bertindak cepat dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan
maupun anak;
• Bantuan dan konseling
terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan anak;
• Melakukan kampanye anti
kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan secara sistematis dan
didukung oleh karingan yang mantap.
• Pembaharuan hukum
teristimewa perlindungan korban tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan
dan anak-anak serta kelompok yang rentang atas pelanggaran HAM.
• Pembaharuan sistem pelayanan
kesehatan yang kondusif guna menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan
anak;
• Bagi anak-anak diperlukan
perlindungan baik sosial, ekonomi mauoun hukum bukan saja dari orang tua,
tetapi semua pihak, termasuk masyarakat dan negara.
• Membentuk lembaga penyantum
korban tindak kekerasan dengan target khusus kaum perempuan dan anak untuk
diberikan secara cuma-cuma dalam bentuk konsultasi, perawatan medis maupun
psikologis
• Meminta media massa (cetak dan elektronik) untuk lebih
memperhatikan masalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam
pemberitaannya, termasuk memberi pendidikan pada publik tentang hak-hak asasi
perempuan dan anak-anak.
Anak-anak di Mata UNICEF
Melihat
permasalahan yang dialami anak-anak di dunia pasti tidak terlepas dari tanggung
jawab dengan sebuah lembaga internasional yang khusus terhadap perlindungan
anak yaitu UNICEF (united nations children’s fund). UNICEF bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan anak-anak dan ibu, memastikan bayi-bayi mempunyai
awal hidup yang baik, melindungi anak-anak dari wabah penyakit dan menjaga
mereka khususnya di negara yang berkembang.
UNICEF
mempromosikan hak dan kesejahteraan setiap anak, dalam segala kegiatan kami.
Bersama para mitra, kami bekerja di 190 negara dan wilayah untuk menerjemahkan
komitmen ke dalam tindakan praktis, dengan fokus pada usaha khusus untuk
menjangkau anak-anak yang paling membutuhkan dan terpinggirkan, untuk kebaikan
semua anak, dimana saja.
Pada tanggal
20 November 2015, bertepatan pada Hari Anak Sedunia, UNICEF Indonesia mendorong
masyarakat dari berbagai latar belakang untuk melawan kekerasan dan menjadi
Pelindung Anak.
Menandai hari
penting ini, UNICEF menyelenggarakan acara pendaftaran publik untuk kampanye
Pelindung Anak, yang baru-baru ini diluncurkan bersama dengan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Kampanye itu bertujuan
untuk menciptakan sebuah gerakan yang menumbuhkan kesadaran dan mendorong
tindakan guna mengakhiri kekerasan terhadap anak.
Dari kampanye
tersebut, kepala perwakilan UNICEF di Indonesia Gunilla Olsson mengatakan “Kini
saatnya memperlihatkan yang tidak terlihat. Kini saatnya bertindak. Sudah
waktunya untuk menghentikan kekerasan terhadap anak,” kata Kepala Perwakilan
UNICEF di Indonesia. “Saya Pelindung Anak dan saya mengajak semua orang untuk
menjadi Pelindung Anak.” Tambahnya, begitulah bentuk kampanye perlindungan anak
yang diselenggarakan di Indonesia
“Kekerasan
terhadap anak adalah krisis senyap di Indonesia dan hanya akan berhenti jika
kita semua – orang tua, guru, pemuka masyarakat, pemerintah – bekerja sama dan
melindungi semua anak – seperti mereka anak kita sendiri. Jika diperlukan satu
desa untuk membesarkan anak, maka diperlukan juga satu desa untuk melindungi
anak,” kata Ibu Gunilla.
Sebagai bagian
dari kampanye, UNICEF juga menyalurkan informasi bermanfaat tentang sifat dan
jenis kekerasan terhadap anak di Indonesia. Menurut data saat ini, kekerasan
terhadap anak terjadi secara luas di Indonesia:
• 40 persen anak berusia 13-15
tahun melaporkan pernah diserang secara fisik sedikitnya satu kali dalam
setahun.
• 26 persen melaporkan pernah
mendapat hukuman fisik dari orang tua atau pengasuh di rumah.
• 50 persen anak melaporkan di-bully
di sekolah.
• 45 persen perempuan dan anak
perempuan di Indonesia percaya bahwa suami/pasangan boleh memukul
istri/pasangannya dalam situasi-situasi tertentu.
“Konsekuensi
dari tidak mengatasi kekerasan terhadap anak di Indonesia sangat buruk. Anak
yang menjadi korban kekerasan fisik, seksual dan emosional kerap menderita
konsekuensi jangka panjang, termasuk kondisi fisik dan psikologis. Bahkan kita
tahu bahwa banyak pelaku juga merupakan korban kekerasan saat mereka
kanak-kanak,” kata Ibu Gunilla.
Mengakhiri
kekerasan terhadap anak tidak hanya membantu anak-anak Indonesia tetapi juga
perekonomian negara. Analisis UNICEF menemukan bahwa biaya yang ditimbulkan
akibat kekerasan fisik, seksual dan emosional terhadap anak di Asia Timur dan
kawasan Pasifik mencapai hamper US$ 200 miliar (dengan mengikuti nilai Dolar AS
tahun 2012) atau hamper dua persen dari penghasilan perkapita gabungan.
Oleh Karena
itu, dari tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan menjadi tanggung jawab
dan kesadaran kita bersama untuk melindungi hak dan kesejahteraan mereka dan
berupaya untuk menghentikan atau mengurangi segala bentuk kekerasan terhadap
anak-anak dan perempuan.
0 comments:
Post a Comment